Sunday, June 14, 2009

Patogenesis Penyakit Alzheimer

1. Faktor Genetik
   Faktor genetik berperan dalam timbulnya Alzheimer (AD) pada beberapa kasus, seperti dibuktikan oleh adanya kasus familial. Penelitian terhadap kasus familial telah memberikan pemahaman signifikan mengenai pathogenesis AP familial dan, mungkin, sporadik.Mutasi di paling sedikit empat lokus genetic dilaporkan berkaitan secara ekslusif dengan Alzheimer familial. Berdasarkan keterkaitan antara trisomi 21 dan kelainan mirip AP di otak yang sudah lama diketahui, mungkin tidaklah mengherankan bahwa mutasi pertama yang berhasil diidentifikasi adalah suatu lokus di kromosom 21 yang sekarang diketahui mengkode sebuah protein yang dikenal sebagai protein precursor amiloid.(APP). APP merupakan sumber endapan amiloid yang ditemukan diberbagai tempat dalam otak pasien yang menderita Alzheimer. Mutasi di dua gen lain yang disebut presenilin 1 dan presenilin 2, yang masing-masing terletak di kromosom 14 dan 1, tampaknya lebih berperan pada Alzheimer familial,terutama kasus dengan onset dini. Sebaliknya mutasi di gen presenilin pernah dilaporkan berkaitan dengan peningkatan pembentukan amiloid di SSP dan juga mungkin berperan pada lenyapnya neuron melaui apoptosis.Suatu kelompok lain, yaitu Alzheimer familial lanjut onset lanjut dilaporkan berkaitan dengan ekspresi alel ε4 apolipoprotein E yang dikode oleh kromosom 9.

   Pengendapan suatu amiloid yang berasal dari penguraian APP, merupakan gambaran yang konsisten pada AD.Produk penguraian tersebut, yang dikenal sebagai β-amiloid (Aβ), adalah komponen utama plak senilis yang ditemukan dalam otak pasien AD, dan biasanya juga terdapat di dalam dinding pembuluh darah otak. Defek genetic atau didapat pada pengolahan APP tampaknya penting dalam pathogenesis AD. Pada keadaan normal,APP yang terkait membran dipecah oleh kerja suatu protease yang dikenal sebagai α-sekretase menjadi versi besar APP yang larut dan fragmen kecil yang terikat ke membran. Fragmen ini dipecah lebih lanjut oleh γ-sekretase. Selain itu,APP juga dapat dipecah oleh β-sekretase untuk menghasilkan fragmen yang larut.Namun, jika segmen terikat membran yang tersisa diuraikan oleh γ-sekretase, terbentuk peptide Aβ yang kurang larut, yang cenderung meggumpal membentuk serabut amiloid.Pengolahan kedua jalur terjadi di kompartemen subselular yang berbeda. Pemecahan oleh p-sekretase diikuti oleh y-sekretase terjadi di kompartemen endosom, sedangkan proteolisis oleh jalur α-sekretase berlangsung di membran sel. Pada keadaan normal kedua jalur berjalan, dan tidak ada bukti bahwa jalur β-sekretase mendominasi pada kasus AD sporadik. Yang lebih mungkin adalah bahwa pada pasien yang mengalami AD terjadi gangguan pada pembersihan peptida Aβ fibrilo-genik. Sebaliknya, pada sebagian kasus AD fami¬lial, mutasi di APP memang menyebabkan pem¬bentukan berlebihan peptida Aβ. Demikian juga, mutasi di gen presenilin, yang disebutkan sebelum-nya, juga berkaitan dengan peningkatan produksi Aβ. Penelitian menunjukkan bahwa presenilin mungkin merupakan subunit katalitik dari γ-sekretase. Oleh karena itu, mutasi di gen presenilin yang meningkatkan aktivitas γ-sekretase mempermudah pembentukan Aβ. Meskipun pengamatan ini menarik, peran yang dimainkan oleh Aβ dalam patogenesis AD masih belum dipahami. Aβ telah dibuktikan bersifat toksik bagi neuron dalam biakan sel, meskipun hubungan antara aktivitas in vitro semacam ini dan lesi AD masih belum jelas. Apakah pengendapan amiloid berperan primer dalam pem¬bentukan AD atau hanya mencerminkan fenomena sekunder masih menjadi topik perdebatan hangat.
   Hiperfosforilasi protein tail merupakan keping lain teka-teki AD. Tau adalah suatu protein intrasel yang terlibat dalam pembentukan mikrotubulus intra-akson. Selain pengendapan amiloid, kelainan sito-skeleton merupakan gambaran yang selalu ditemu-kan pada AD. Banyak kelainan struktural ini yang berkaitan dengan penimbunan bentuk hiperfosfor-ilasi tau, yang keberadaannya mungkin meng-ganggu pemeliharaan mikrotubulus normal. Walaupun selalu ditemukan pada AD, kelainan sitoskeleton terkait-tau tidak terbatas pada penyakit tersebut; kelainan ini ditemukan pada beragam gangguan neurodegeneratif lain dan berbagai penyakit seperti penyakit metabolik (penyakit Niemann-Pick), neoplasma (ganglioglioma), dan hamartoma. Apakah hiperfosforilasi protein tau mencerminkan kejadian primer dalam patogenesis AD, atau peristiwa sekunder, masih belum dapat dipastikan. Selama ini diperkirakan tidak terdapat keterkaitan antara pembentukan protein tau abnor¬mal dan pengendapan amiloid. Saat ini para pendukung hipotesis tau ("tauists") dan hipotesis P-amiloid ("paptists") mungkin telah mendapatkan titik persamaan. Tampaknya, paling tidak pada model hewan penyakit Alzheimer, bahwa APP atau produknya amiloid A β meningkatkan pembentukan jerat neurofibrilar yang berasal dari protein tau.
   Ekspresi alel spesifik apoprotein E (apoE) dapat dibuktikan pada AD sporadik dan familial. Studi retrospektif dan prospektif telah membuktikan bahwa alel ε4 apoE, pada khususnya, diekspresikan dengan frekuensi tinggi pada pasien dengan AD onset lambat.Diperkirakan apoE mungkin berperan dalam penyaluran atau pengolahan molekul APP. ApoE yang mengandung alel ε4 dilaporkan mengikat Aβ lebih baik daripada bentuk lain apoE, dan oleh karena itu,bentuk ini ikut meningkatkan pembentukan fibril amiloid. Meskipun telah jelas bahwa keberadaan alel ε4 berkaitan dengan peningkatan resiko AD,juga perlu dicatat bahwa cukup banyak pasien dengan AD yang tidak mengekspresikan alel apoE.Selain itu, ε4 diekspresikan pada beberapa orang berusia lanjut yang tidak mengidap AD. Bersama-sama, pengamatan ini mengisyaratkan walaupun bentuk ε4 mungkin berperan dalam AD, keberadaanya saja kurang cukup atau esensial untuk timbulnya AD.

2. Faktor Infeksi
   Ada hipotesa menunjukkan penyebab infeksi virus pada keluarga penderita alzheimer yang dilakukan secara immuno blot analisis, ternyata diketemukan adanya antibodi reaktif. Infeksi virus tersebut menyebabkan infeksi pada susunan saraf pusat yang bersipat lambat, kronik dan remisi. Beberapa penyakit infeksi seperti Creutzfeldt-Jacob disease dan kuru,diduga berhubungan dengan penyakit alzheimer.
Hipotesa tersebut mempunyai beberapa persamaan antara lain:
a. manifestasi klinik yang sama
b. Tidak adanya respon imun yang spesifik
c. Adanya plak amyloid pada susunan saraf pusat
d. Timbulnya gejala mioklonus
e. Adanya gambaran spongioform

3. Faktor Lingkungan
   Ekmann (1988), mengatakan bahwa faktor lingkungan juga dapat berperan dalam patogenesa penyakit alzheimer. Faktor lingkungan antaralain, aluminium, silicon, mercury, zinc. Aluminium merupakan neurotoksik potensial pada susunan saraf pusat yang ditemukan neurofibrillary tangles (NFT) dan senile plaque (SPINALIS). Hal tersebut diatas belum dapat dijelaskan secara pasti, apakah keberadaan aluminum adalah penyebab degenerasi neurosal primer atau sesuatu hal yang tumpang tindih. Pada penderita alzheimer, juga ditemukan keadan ketidak seimbangan merkuri, nitrogen, fosfor, sodium, dengan patogenesa yangbelum jelas.
Ada dugaan bahwa asam amino glutamat akan menyebabkan depolarisasi melalui reseptor N-methy D-aspartat sehingga kalsium akan masuk ke intraseluler (Cairan-influks) danmenyebabkan kerusakan metabolisma energi seluler dengan akibat kerusakan dan kematian neuron.

4. Faktor Imunologi
   Behan dan Felman (1970) melaporkan 60% pasien yang menderita alzheimer didapatkan kelainan serum protein seperti penurunan albumin dan peningkatan alpha protein, anti trypsin alphamarcoglobuli dan haptoglobuli. Heyman (1984), melaporkan terdapat hubungan bermakna dan meningkat dari penderita alzheimer dengan penderita tiroid. Tiroid Hashimoto merupakan penyakit inflamasi kronik yang sering didapatkan pada wanita muda karena peranan faktor immunitas.

5. Faktor Trauma

   Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan penyakit alzheimer dengan trauma kepala. Hal ini dihubungkan dengan petinju yang menderita demensia pugilistik, dimana pada otopsinya ditemukan banyak neurofibrillary tangles.

6. Faktor Neurotransmiter
   Perubahan neurotransmitter pada jaringan otak penderita alzheimer mempunyai peranan yang sangat penting seperti:

a. Asetilkolin
   Barties et al (1982) mengadakan penelitian terhadap aktivitas spesifik neurotransmiter dgncara biopsi sterotaktik dan otopsi jaringan otak pada penderita alzheimer didapatkan penurunan aktivitas kolinasetil transferase, asetikolinesterase dan transport kolin serta penurunan biosintesa asetilkolin. Adanya defisit presinaptik dan postsynaptik kolinergik ini bersifat simetris pada korteks frontalis, temporallis superior, nukleus basalis, hipokampus. Kelainan neurottansmiter asetilkoline merupakan kelainan yang selalu ada dibandingkan jenis neurottansmiter lainnyapd penyakit alzheimer, dimana pada jaringan otak/biopsinya selalu didapatkan kehilangan cholinergik Marker. Pada penelitian dengan pemberian scopolamin pada orang normal, akan menyebabkan berkurang atau hilangnya daya ingat. Hal ini sangat mendukung hipotesa kolinergik sebagai patogenesa penyakit alzheimer.

b. Noradrenalin
   Kadar metabolisma norepinefrin dan dopimin didapatkan menurun pada jaringan otak penderita alzheimer. Hilangnya neuron bagian dorsal lokus seruleus yang merupakan tempat yang utama noradrenalin pada korteks serebri, berkorelasi dengan defisit kortikal noradrenergik.
Bowen et al(1988), melaporkan hasil biopsi dan otopsi jaringan otak penderita alzheimer menunjukkan adanya defisit noradrenalin pada presinaptik neokorteks. Palmer et al(1987), Reinikanen (1988), melaporkan konsentrasi noradrenalin menurun baik pada post dan ante-mortem penderita alzheimer.


c. Dopamin
   Sparks et al (1988), melakukan pengukuran terhadap aktivitas neurottansmiter regio hipothalamus, dimana tidak adanya gangguan perubahan aktivitas dopamin pada penderita alzheimer. Hasil ini masih kontroversial, kemungkinan disebabkan karena potongan histopatologi regio hipothalamus setia penelitian berbeda-beda.

d. Serotonin
   Didapatkan penurunan kadar serotonin dan hasil metabolisme 5 hidroxi-indolacetil acid pada biopsi korteks serebri penderita alzheimer. Penurunan juga didapatkan pada nukleus basalis dari meynert. Penurunan serotonin pada subregio hipotalamus sangat bervariasi, pengurangan maksimal pada anterior hipotalamus sedangkan pada posterior peraventrikuler hipotalamus berkurang sangat minimal. Perubahan kortikal serotonergik ini berhubungan dengan hilangnya neuron-neuron dan diisi oleh formasi NFT pada nukleus rephe dorsalis

e. MAO (Monoamine Oksidase)
   Enzim mitokondria MAO akan mengoksidasi transmitter mono amine. Aktivitas normal MAO terbagi 2 kelompok yaitu MAO A untuk deaminasi serotonin, norepineprin dan sebagian kecil dopamin, sedangkan MAO B untuk deaminasi terutama dopamin. Pada penderita alzheimer, didapatkan peningkatan MAO A pada hipothalamus dan frontais sedangkan MAO B meningkat pada daerah temporal Dan menurun pada nukleus basalis dari meynert.

No comments: