Saturday, April 16, 2011

Cara Kerja dan Efek Samping Dari Vaksinasi

   Walau mampu mencegah timbulnya penyakit, vaksinasi/imunisasi bukanlah cara yang mampu mencegah 100% penyakit. Pada keadaan tertentu, vaksinasi bahkan menimbulkan efek samping yang berbahaya. Berikut adalah beberapa efek samping dari vaksinasi dan mengapa efek tersebut bisa muncul, sehingga dapat meminimalisir efek samping ketika si kecil sedang di vaksin

1. Imunisasi BCG
   BacilleCalmette-Guerin adalah vaksin hidup yang dibuat dari Mycobacterium bovis yang dibiak berulang selama 1-3 tahun sehingga didapat basil yang tidak virulen tetapi masih mempunyai imunogenitas.
Vaksin BCG tidak mencegah infeksi tuberculosis tetapi mengurangi risiko tuberculosis berat seperti meningitistuberkulosa dan tuberculosis milier. Efek proteksi timbul 8-12 minggu setelah penyuntikan. Efek proteksi bervariasi antara 0-80° %. Hal ini mungkin karena vaksin yang dipakai, lingkungan dengan Mycobacterium atipik atau faktor pejamu (umur, keadaan gizi, dll)
   Vaksin BCG berbentuk bubuk kering harus dilarutkan dengan 4 cc NaCl 0,9%. Setelah dilarutkan harus segera dipakai dalam waktu 3 jam, sisanya dibuang. Penyimpanan pada suhu < 5°C terhindar dari sinar matahari (indoor day-light). Dosis diberikan sebayak 0,05 ml pada bayi kurang dari 1 tahun, dan 0,1 ml pada anak sebanyak 1 kali disuntikkan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas. BCG sebaiknya diberikan pada umur < 2 bulan. BCG sebaiknya diberikan pada anak dengan uji Mantoux (tuberculin) negative.

Efek samping dari pemberian vaksin BCG :
• Pada tempat penyuntikan terjadi ulkus yang lama sembuh. Hal ini terutama bila terjadi suntikan tidak tepat intrakutan, melainkan subkutan
• Pembengkakan kelenjar regional, yang lambat laun dapat pecah dan kemudian terbentuk fistel dan ulkus.
• Infeksi sekunder dari ulkus

  Kontraindikasi BCG :
1. Reaksi uji tuberculin > 5 mm
2. Sedang menderita infeksi HIV atau dengan resiko tinggi infeksi, imunokompromais akibat pengobatan kortikosteroid, obat imuno-supresi, mendapat pengobatan radiasi, penyakit keganasan yang mengenai sumsum tulang atau system limfe.
3. Anak menderita gizi buruk
4. Sedang menderita demam tinggi
5. Menderita infeksi kulit yang luas
6. Pernah sakit tuberculosis
7. Kehamilan

Rekomendasi yang diberikan untuk Imunisasi BCG
• BCG diberikan pada bayi < 2 bulan
• Pada bayi yang kontak erat dengan penderita TB dengan BTA(+3) sebaiknya diberikan INH profilaksis dulu, kalau kontaknya sudah tenang dapat diberi BCG.
• BCG jangan diberikan pada bayi atau anak dengan imunodefisiensi, misalnya HIV, gizi buruk dan lain-lainBCG adalah vaksin untuk mencegah penyakit TBC, orang bilang flek paru.

2. Imunisasi Hepatitis B 
Penularan Hapatitis B pada umumnya terjadi melalui :
• Inokulasi parenteral, melalui alat-alat kedokteran, darah, ataupun jaringan .
• hubungan seksual
• dari ibu kepada bayinya, pada umumnya terjadi pada proses kelahiran, dapat pula melalui transplasental, atau pada masa postnatal melalui ASI
• penularan horizontal antar anak, walaupun sangat jarang.

Cara kerja melalui imunisasi pasif dan imunisasi aktif.
a. Imunisasi pasif
   Imunisasi pasif dilakukan dengan pemberian immunoglobulin. Diberikan baik sebelum terjadinya paparan (preexposure) maupun setelah terjadinya paparan (postexposure). Dapat dilakukan dengan memberikan IG/ISG ( Immune Serum Globulin) atau HBIG (Hepatitis B Immune Globulin)
Indikasi utama pemberian imunisasi pasif ini ialah,
1. Paparan dengan darah yang ternyata mengandung HbsAg, baik melalui kulit maupun mukosa.
2. Paparan seksual dengan mengidap HbsAg (+)
3. Paparan perinatal, ibu HbsAg (+). Imunusasi pasif harus diberikan sebelum 48 jam.

Dosis yang diberikan :
• Pada kecelakaan jarum suntik: 0,06 ml/kg, dosis maksimal 5 ml, intramuskuler, harus diberikan dalam jangka waktu 24 jam, diulang 1 bulan kemudian.
• Paparan seksual: dosis tunggal 0,06 ml/kg, intramuskuler, harus diberikan dalam jangka waktu 2 minggu, dengan dosis maks 5 ml
• Paparan perinatal: 0,5 ml intramuscular
b. Imunisasi aktif
    Imunisasi aktif dapat diberikan dengan pemberian partikel HbsAg yang tidak infeksius. Dikenal dengan 3 jenis vaksin hepatitis B yaitu,
• Vaksin yang berasal dari plasma
• Vaksin yang dibuat dengan tehnik rekombinan (rekayasa genetic) berisi virus recombinan yang telah diinaktivasi dan bersifat non-infeccious, berasal dari HbsAg yang dihasilkan dalam sel ragi (Hansenula polymorpha)menggunakan teknologi DNA rekombinan
• Vaksin polipeptida

Jumlah Pemberian: Vaksin disuntikkan dengan dosis 0,5 ml atau 1 (buah) Sebanyak 3 kali, dengan interval 1 bulan antara suntikan pertama dan kedua, kemudian 5 bulan antara suntikan kedua dan ketiga.

Usia Pemberian. Sekurang-kurangnya 12 jam setelah lahir. Dengan syarat, kondisi bayi stabil, tak ada gangguan pada paru-paru dan jantung. Dilanjutkan pada usia 1 bulan, dan usia 3-6 bulan. Khusus bayi yang lahir dari ibu pengidap VHB, selain imunisasi tsb dilakukan tambahan dengan imunoglobulin antihepatitis B dalam waktu sebelum usia 24 jam.

Lokasi Penyuntikan: Pada anak di lengan dengan cara intramuskuler. Sedangkan pada bayi di paha lewat anterolateral (antero= otot-otot bagian depan, lateral= otot bagian luar). Penyuntikan di bokong tidak dianjurkan karena bisa mengurangi efektivitas vaksin.

Tanda Keberhasilan: Tak ada tanda klinis yang dapat dijadikan patokan. Namun dapat dilakukan pengukuran keberhasilan melalui pemeriksaan darah dengan mengecek kadar hepatitis B-nya setelah anak berusia setahun. Bila kadarnya di atas 1000, berarti daya tahanya 8 tahun; diatas 500, tahan 5 tahun; diatas 200 tahan 3 tahun. Tetapi kalau angkanya cuma 100, maka dalam setahun akan hilang. Sementara bila angkanya 0 berarti si bayi harus disuntik ulang 3 kali lagi.

Tingkat Kekebalan: Cukup tinggi, antara 94-96%. Umumnya setelah 3 kali suntikan, lebih dari 95% bayi mengalami respons imun yang cukup.

Indikator Kontra: Tak dapat diberikan pada anak yang sakit berat

Reaksi KIPI ( Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) : 
   Efek samping pada umumnya ringan, berupa nyeri, bengkak, panas mual, nyeri sendi maupun otot, walaupun demikian pernah pula dilaporkan adanya anafilaksis, sindrom Guillain-Barre, walaupun tidak jelas terbukti hubungan dengannya dengan imunisasi hepatitis B.

c. Imunisasi Polio
Vaksin polio ada 2 jenis yaitu
1. Vaksin virus polio oral (oral polio vaccine = OPV)
• Vaksin virus polio hidup oral yang dibuat oleh PT Biofarma Bandung berisi virus polio tipe 1,2,3 adalah suku Sabin yang masih hidup tetapi sudah dilemahkan (attenuated). Vaksin ini dibuat dalam biakan jaringan ginjal kera dan distabilkan dengan sukrosa.
• Ketika masuk melalui oral maka vaksin ini akan menempatkan diri di usus dan memacu pembentukan antibody baik dalam darah maupun dalam epitel usus, yang menghasilkan pertahanan lokal terhadap virus polio liar yang dating masuk kemudian.
2. Vaksin polio inactivated (inactived poliomyelitis vaccine = IPV)
• Vaksin polio inactived yang dibuat oleh Aventis Pasteur berisi tipe 1,2,3 dibiakkan pada sel-sel VERO ginjal kera dan dibuat tidak aktif dengan formaldehid.
• Pemberian dengan dosis 0,5 ml dengan suntikan subkutan dengan 3 kali berturut-turut dengan jarak 2 bulan antara masing-masing dosis akan memeberikan imunitas jangka panjang terhadap 3 macam tipe virus polio
 • Imunitas mucosal yang ditimbulkan oleh IPV lebih rendah dibandingkan dengan yang ditimbulkan oleh OPV
   Imunisasi polio diberikan untuk kekebalan aktif terhadap poliomielitis yaitu suatu penyakit radang yang menyerang saraf dan dapat menyebabkan lumpuh pada kedua kaki. Walaupun dapat sembuh, penderita akan pincang seumur hidup karena virus ini membuat otot-otot lumpuh dan tetap kecil.
   Virus polio menyerang tanpa peringatan, merusak sistem saraf menimbulkan kelumpuhan permanen, biasanya pada kaki. Sejumlah besar penderita meninggal karena tidak dapat menggerakkan otot pernapasan. Ketika polio menyerang Amerika selama dasawarsa seusai Perang Dunia II, penyakit itu disebut ‘momok semua orang tua’, karena menjangkiti anak-anak terutama yang berumur di bawah lima tahun. Di sana para orang tua tidak membiarkan anak mereka keluar rumah, gedung-gedung bioskop dikunci, kolam renang, sekolah dan bahkan gereja tutup. Virus polio menular secara langsung melalui percikan ludah penderita atau makanan dan minuman yang dicemari. Pencegahannya dengan dilakukan menelan vaksin polio 2 (dua) tetes setiap kali sesuai dengan jadwal imunisasi. Kejadian ikutan pasca imunisasi : Setelah vaksinasi sebagian resipien dapat mengalami gejala pusing, diare ringan, dan sakit pada otot.
Kontra indikasi :
• Penyakit akut atau demam (temp.>38,5°C ),imunisasi harus ditunda.
• Muntah atau diare, imunisasi ditunda
• Sedang dalam pengobatan kortikosteroid atau imunosupresi oral maupun suntikan juga pengobatan radiasi umum (termasuk kontak pasien)
• Keganasan(untuk pasien dan kontak) yang berhubungan dengan system retikuloendotelial( seperti limfoma, leukemia, dan penyakit Hodgkin) dan anak dengan mekanisme imunologik yang terganggu.

d. Imunisasi DTP
   Deskripsi Vaksin Jerap DTP adalah vaksin yang terdiri dari toksoid difteri dan tetanus yang dimurnikan, serta bakteri pertusis yang telah diinaktivasi yang teradsorbsi ke dalam 3 mg / ml Aluminium fosfat. Thimerosal 0,1 mg/ml digunakan sebagai pengawet. Potensi vaksin per dosis tunggal sedikitnya 4 IU pertussis, 30 IU difteri dan 60 IU tetanus.
Indikasi Untuk Imunisasi secara simultan terhadap difteri, tetanus dan batuk rejan.
Komposisi Tiap ml mengandung : Toksoid difteri yang dimurnikan 40 Lf Toksoid tetanus yang dimurnikan 15 Lf B, pertussis yang diinaktivasi 24 OU Aluminium fosfat 3 mg Thimerosal 0,1 mg
Dosis dan Cara Pemberian Vaksin harus dikocok dulu untuk menghomogenkan suspensi. Vaksin harus disuntikkan secara intramuskuler atau secara subkutan yang dalam. Bagian anterolateral paha atas merupakan bagian yang direkomendasikan untuk tempat penyuntikkan. (Penyuntikan di bagian pantat pada anak-anak tidak direkomendasikan karena dapat mencederai syaraf pinggul). Tidak boleh disuntikkan pada kulit karena dapat menimbulkan reaksi lokal. Satu dosis adalah 0,5 ml. Pada setiap penyuntikan harus digunakan jarum suntik dan syringe yang steril.
   Di negara-negara dimana pertusis merupakan ancaman bagi bayi muda, imunisasi DTP harus dimulai sesegera mungkin dengan dosis pertama diberikan pada usia 6 minggu dan 2 dosis berikutnya diberikan dengan interval masing-masing 4 minggu. Vaksin DTP dapat diberikan secara aman dan efektif pada waktu yang bersamaan dengan vaksinasi BCG, Campak, Polio (OPV dan IPV), Hepatitis B, Hib. dan vaksin Yellow Fever.
   Kontraindikasi Terdapat beberapa kontraindikasi yang berkaitan dengan suntikan pertama DTP. Gejala-gejala keabnormalan otak pada periode bayi baru lahir atau gejala-gejala serius keabnormalan pada saraf merupakan kontraindikasi dari komponen pertussis. Imunisasi DTP kedua tidak boleh diberikan kepada anak yang mengalami gejala-gejala parah pada dosis pertama DTP. Komponen pertussis harus dihindarkan, dan hanya dengan diberi DT untuk meneruskan imunisasi ini. Untuk individu penderita virus human immunodefficiency (HIV) baik dengan gejala maupun tanpa gejala harus diberi imunisasi DTP sesuai dengan standar jadual tertentu.
   Efek simpang dari pemberian imunisasi DTP menimbulkan gejala-gejala yang bersifat sementara seperti lemas, demam, kemerahan pada tempat penyuntikkan. Kadang-kadang terjadi gejala berat seperti demam tinggi iritabilitas, dan meracau yang biasanya terjadi 24 jam setelah imunisasi.

e. Imunisasi Campak
   Imunisasi campak, sebenarnya bayi sudah mendapatkan kekebalan campak dari ibunya. Namun seiring bertambahnya usia, antibodi dari ibunya semakin menurun sehingga butuh antibodi tambahan lewat pemberian vaksin campak. Apalagi penyakit campak mudah menular, dan mereka yang daya tahan tubuhnya lemah gampang sekali terserang penyakit yang disebabkan virus Morbili ini. Untungnya campak hanya diderita sekali seumur hidup. Jadi, sekali terkena campak, setelah itu biasanya tak akan terkena lagi.
   Penularan campak terjadi lewat udara atau butiran halus air ludah (droplet) penderita yang terhirup melalui hidung atau mulut. Pada masa inkubasi yang berlangsung sekitar 10-12 hari, gejalanya sulit dideteksi. Setelah itu barulah muncul gejala flu (batuk, pilek, demam), mata kemerahabn dan berair, si kecilpun merasa silau saat melihat cahaya. Kemudian, disebelah dalam mulut muncul bintik-bintik putih yang akan bertahan 3-4 hari. Beberapa anak juga mengalami diare. satu-dua hari kemudian timbul demam tinggi yang turun naik, berkisar 38-40,5 derajat celcius.
   Seiring dengan itu barulah muncul bercak-bercak merah yang merupakan ciri khas penyakit ini. Ukurannya tidak terlalu besar, tapi juga tidak terlalu kecil. Awalnya haya muncul di beberapa bagian tubuh saja seperti kuping, leher, dada, muka, tangan dan kaki. Dalam waktu 1 minggu, bercak-bercak merah ini hanya di beberapa bagian tibih saja dan tidak banyak.
   Jika bercak merah sudah keluar, umumnya demam akan turun dengan sendirinya. Bercak merah pun akan berubah menjadi kehitaman dan bersisik, disebut hiperpigmentasi. Pada akhirnya bercak akan mengelupas atau rontok atau sembuh dengan sendirinya. Umumnya dibutuhkan waktu hingga 2 minggu sampai anak sembuh benar dari sisa-sisa campak. Dalam kondisi ini tetaplah meminum obat yang sudah diberikan dokter. Jaga stamina dan konsumsi makanan bergizi. Pengobatannya bersifat simptomatis, yaitu mengobati berdasarkan gejala yang muncul. Hingga saat ini, belum ditemukan obat yang efektif mengatasi virus campak.
Jika tak ditangani dengan baik campak bisa sangat berbahaya. Bisa terjadi komplikasi, terutama pada campak yang berat. Ciri-ciri campak berat, selain bercaknya di sekujur tubuh, gejalanya tidak membaik setelah diobati 1-2 hari. Komplikasi yang terjadi biasanya berupa radang paru-paru dan radang otak. Komplikasi ini yang umumnya paing sering menimbulkan kematian pada anak.
   Vaksin campak merupakan vaksin virus hidup yang dilemahkan, setiap (0,5 ml) mengandung tidak kurang dari 1000 infective unit virus strain CAM 70 dan tidak lebih dari 100 mcg residu kanamysin dan 30 mg mcg residu eritromysin.
   Usia dan Jumlah Pemberian Sebanyak 2 kali; 1 kali di usia 9-11 bulan, 1 kali di usia 6-7 tahun. Dosis pemberian 0,5 ml disuntikkan secara subkutan pada lengan kiri atas. Dianjurkan, pemberian campak ke-1 sesuai jadwal. Selain karena antibodi dari ibu sudah menurun di usia 9 bulan, penyakit campak umumnya menyerang anak usia balita. Jika sampai 12 bulan belum mendapatkan imunisasi campak, maka pada usia 12 bulan harus diimunisasi MMR (Measles Mump Rubella).

f. Imunisasi DT (Difteri, tetanus)
   Vaksin jerap DT (Difteri dan Tetanus adalahvaksin yang mengandung toxoid difteri dan tetanus yang telah dimurnikan.. Pemberian imunisasi DT untuk memberikan kekebalan simultan terhadap difteri dan tetanus.
Cara pemberian dan dosis untu imunisasi Dt yaitu dengan cara disuntikkan secara intra muscular atau subkutan dalam, dengan dosis pemberian 0,5 ml. Dianjurkan untuk anak usia dibawah 8 tahun.
Efek simpang dari imunisasi DT menimbulkan gejala-gejala seperti lemas dan kemerahan pada lokasi suntikkan yang bersifat sementara, kadang-kadang gejala demam.

g. Imunisasi TT (Tetanus Toxoid)
   Vaksin jerap TT (Tetanus Toxoid) adalah vaksin yang mengandung toxoid tetanus yang telah dimurnikan dan terabsorbsi ke dalam 3 mg/ml alumunium fosfat. Trimesrol 0,1 mg/ml digunakkan sebagai pengawet.
Satu dosis 0,5 ml vaksin mengandung potensi sedikitnya 40 IU. Dipergunakkan untuk mencegah tetanus pada bayi baru lahir dengan mengimunisasi WUS (Wanita Usia Subur) atau ibu hamil, juga pencegahab tetanus pada ibu bayi.
   Untuk mencegah tetanus/tetanus neonatal terdiri dari 2 dosis primer yang disuntikkan secara intra muscular atau subkutan dalam, dengan pemberian dosis 0,5 dengan interval 4 minggu. Dilanjutkan dengan dosis ketiga setelah 6 bulan berikutnya. Untuk mempertahankan kekebalan terhadap tetanus pada uaia subur, maka dianjurkan 5 dosis. Dosis keempat dan kelima diberikan interval minimal 1 tahun setelah pemberian dosis ketiga dan keempat. Imunisasi TT dapat diberikan secara aman selama masa kehamilan bahkan pada periode trimester pertama.

h. Imunisasi MMR
   Imunisasi MMR adalah imunisasi kombinasi untuk mencegah penyakit Campak, Campak Jerman dan Penyakit Gondong. Pemberian vaksin MMR biasanya diberikan pada usia anak 16 bulan. Vaksin ini adalah gabungan vaksin hidup yang dilemahkan. Semula vaksin ini ditemukan secara terpisah, tetapi dalam beberapa tahun kemudian digabung menjadi vaksin kombinasi. Kombinasi tersebut terdiri dari virus hidup Campak galur Edmonton atau Schwarz yang telah dilemahkan, Componen Antigen Rubella dari virus hidup Wistar RA 27/3 yang dilemahkan dan Antigen gondongen dari virus hidup galur Jerry Lynn atau Urabe AM-9.
   Tujuan diberikannya imunisasi MMR ini adalah untuk mencegah atau mengurangi terjadinya infeksi pada anak yang disebabkan penyakit-penyakit, gondongan dan rubela.
   Beberapa ahli memang ada yang mengkhawatirkan dengan pemberian MMR ini, dapat memberikan autisme yang disebabkan pelarut MMR mengandung Tiomersal, tetapi dugaan tersebut tidak terbukti. Seperti yang dikemukakan Andrew Wakefield tahun 1998, MMR tidak terbukti menyebabkan autisme karena sampel yang diteliti hanya pada 12 pasien. “Itulah sebabnya hingga sekarang, MMR tetap aman untuk diberikan pada anak mengingat pentingnya imunisasi ini terhadap perlindungan anak,” ungkapnya.
   Pencegahan sindrom rubela congenital merupakan tujuan pemberian imunisasi rubela. Rubela adalah penyakit yang cukup berbahaya apabila terjadi diawal kehamilan, karena dapat menimbulkan kelainan jiwa, kelahiran prematur, dan cacat bawaan.
    Apabila cacat dari lahir, bayi dapat mengalami cacat dalam bentuk, tuli, kelainan mata, kalainan jantung, kelainan saraf, mikrosefali, dan retardasi mental. “Untuk menghindar penyakit ini, ibu-ibu harus memiliki kekebalan rubela sejak kecil, sehingga diharapkan penyakit tersebut tidak akan terjadi pada bayi yang akan dilahirkan.


i. Imunisasi Combo
   Vaksin telah terbukti memiliki peranan yang sangat besar dalam mengendalikan penyakit infeksi. Keampuhan vaksin ini telah teruji. Ambil contoh vaksin cacar. Vaksin ini terbukti mampu membasmi penyakit cacar alias variola dari muka bumi, sehingga pada dekade 80-an WHO telah mendeklarasikan Dunia Bebas cacar.
   Karena itu, tidak mengherankan jika pada 1974 organisasi kesehatan dunia WHO mempropagandakan program Expanded Program on Immunization (EPI). Melalui program tersebut, WHO merekomendasikan imunisasi untuk enam penyakit infeksi yang ada pada awal kehidupan manusia, yaitu polio, difteri, tetanus, pertusis, campak, dan tuberkulosis.
   Namun, pada tahun 1990-an, WHO menambah lagi rekomendasinya, yaitu pemberian imunisasi untuk mencegah penyakit hepatitis B. Dampaknya, jumlah suntikan yang harus diterima para bayi meningkat. Bahkan, kadang kala, demi mengejar cakupan imunisasi, tak jarang bayi harus menerima tiga jenis vaksinasi sekaligus, yaitu DPT, hepatitis B, dan polio. Hal ini mendorong PT Bio Farma (Persero) untuk memproduksi vaksin kombinasi yang terdiri dari beberapa antigen. Melalui vaksin Combo yang terdiri atas kombinasi vaksin difteri, pertusis, tetanus, dan hepatitis B.
   Setelah melalui proses penelitian, BUMN ini dapat menghasilkan vaksin kombinasi tersebut. Hal ini memberi harapan baru bahwa untuk mendapatkan vaksin kombinasi ini kita tidak perlu lagi mendatangkan dari luar negeri.
   Kelebihan vaksin kombinasi dibandingkan vaksin tunggal yang praktis, ekonomis, dan aman merupakan alasan tepat menjadikan vaksin kombinasi ini sebagai pilihan untuk imunisasi balita kita. Praktis, karena cakupan imunisasi akan lebih mudah dan cepat tercapai. Ekonomis, karena jumlah kunjungan ke fasilitas kesehatan berkurang, jumlah pemakaian jarum suntik berkurang, juga biaya transpor kegiatan pengiriman vaksin dapat dikurangi. Aman, karena berkurangnya jumlah suntikan dari enam menjadi tiga sehingga kemungkinan timbulnya kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI) akibat suntikan juga bias dikurangi.
   Kegiatan penelitian pembuatan vaksin Combo di Bio Farma dimulai pada 1999 dengan melibatkan usaha keras dari karyawan Bio Farma dan Tim Vaksin Combo. Dua tahun kemudian, kegiatan penelitian vaksin ini masuk ke tahap uji klinis (clinical trial) terhadap manusia. Uji klinis terhadap manusia ini merupakan tahap yang wajib dilalui oleh setiap produk baru yang akan dipasarkan.
   Uji klinis vaksin Combo dimulai sejak Mei 2002 hingga Mei 2003 di tiga tempat, yakni Bandung (Jabar), Bogor (Jabar), dan Banjar Baru (Kalsel). Pihak yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan uji klinis ini adalah Litbangkes Jakarta, Bagian Anak RSHS, dan Dinas Kesehatan Banjar Baru.
   Pengujian yang dilakukan terhadap 730 bayi-bayi sehat tersebut melibatkan para ahli dari Indonesia seperti Prof Dr Sri Rezeki, SpA(K), PhD, Prof Bambang Sutrisna, MHSc, Prof Siti Boedina SpPK, DR Dr, Agus Purwadianto SH, MSi, SpF, DR Dr Julitasari, Dr Kusnandi Rusmil SpA(K), MM, Edi Sampana SKM, MKEs, dan Dra Muljati Prijanto.
   Hasil uji klinis menunjukkan bahwa vaksin Combo produk Bio Farma mampu menimbulkan seroproteksi (kekebalan) terhadap difteri, tetanus, pertusis, dan hepatitis B yang sama baiknya dengan seroproteksi yang diberikan oleh vaksin DPT atau hepatitis B yang diberikan dalam dosis tunggal.
   Selanjutnya, hasil uji klinis vaksin Combo DPT-HB dilaporkan pada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Akhirnya, pada tanggal 30 Desember 2003, vaksin Combo DPT-HB tersebut memperoleh persetujuan registrasi dari BPOM.
   Setelah mendapat persetujuan registrasi, langkah berikutnya yang dilakukan Bio Farma adalah memasarkan vaksin ini, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Namun, untuk ekspor vaksin tersebut, Bio Farma masih harus bersabar untuk memperoleh WHO Recognition sebagai salah satu persyaratannya.

No comments: